Kalau kita mau jujur sebagai warga negara yang baik dan masih peduli dengan masa depan Republik yang kita cintai ini apakah kepemimpinan nasional dalam konteks nasional dan local sudah berhasil melembaga dengan baik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang sangat multikompleks?
Jawabnya pasti tidak. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, adalah beberapa variable yang mengggambarkan seorang pemimpin telah gagal. Tetapi seorang pemimpin seringkali tidak menyadari dan bahkan lupa bahwa dia sebenarnya sudah gagal. Inilah yang menjadi permenungan khusus menyambut HUT RI yang ke 65.
Apa hubungan antara kemerdekaan dan kepemimpinan? Hubungannya sangat erat. Kemerdekaan yang sesungguhnya sangat banyak ditentukan oleh nilai- nilai implementasi dari seorang pemimpin. Jika pemimpin yang baik adalah pelayan dan pengayom serta berpikir tentang masa depan yang dipimpinnya. Sementara seorang pemimpin yang mementingkan keserakahan, ketamakan, perkoncoan akan sangat menyengserakan masyarakat yang dipimpinnya.
Bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik tentu tidak ada rumusan baku atau aturan baku yang membentuknya. Di semua lembaga formal pendidikan di negara kita ini mulai dari siswa SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi (baik swasta dan negeri) selalu diarahkan menjadi pemimpin yang baik.
Ketika lembaga formal pendidikan terus member nilai- nilai akademik tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik maka seharusnya negara tidak mengalami krisis kepemimpinan. Dalam konteks Negara kita sekarang ini bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan mulai dari daerah sampai pusat. Lihat bagaimana banyaknya pemimpin di daerah yang terkait masalah korupsi.
Semenjak adanya implementasi otonomi daerah 1 Januari 2001 beberapa tahun yang lalu, masalah kepemimpinan Bupati/ Walikota dan Gubernur menjadi sorotan. Ada istilah baru dengan menyebut munculnya desentralisasi korupsi. Akibatnya otonomi daerah sebagai instrument kepemimpinan tidak bias menjawab persoalan masyarakat, justru lahir masalah baru, yaitu korupsi pidndah dari pusat dan daerah. Ini menunjukkan bangsa kita krisis kepemimpinan yang baik untuk menjadi pemimpin yang baik bagi masyarakat.
Fenomena kebangsaan yang dominan di negeri ini adalah masih banyaknya orang yang jatuh akibat penafian terhadap kesadaran moral. Itu berarti, kesadaran moral masih memprihatinkan, bahkan seakan-akan belum menjadi hal yang penting. Kesadaran moral menyangkut kesadaran inklusif pada "baik- buruk." Setiap orang harus berikhtiar memilih kebaikan dan menjauhkan keburukan. Apabila kesadaran moral telah tumbuh dalam diri individu manusia maka ia akan senantiasa mengarahkan kehidupannya untuk memilih yang baik.
Banyak orang kritis, aktivis, idealis, dan intelektual yang habis kariernya dan terpaksa masuk penjara karena korupsi.Banyak profesor yang harus mendekam di penjara, padahal mereka seharusnya menjadi suri teladan. Ini adalah ironisme yang memprihatinkan.
Banyak pula aktivis yang sebelumnya perjuangannya sangat mengagumkan tiba-tiba tersangkut sebagai tersangka. Banyak pejabat tinggi, baik di pusat maupun daerah, yang seharusnya memberikan contoh justru menjadi tersangka kasus korupsi.
Kesadaran moral di negeri ini sepertinya belum membatin. Banyak norma tentang moral yang diwacanakan besar-besar, namun ironisnya diabaikan. Sepertinya tidak ada kesatuan antara pikir, kata, dan perbuatan sehari-hari. Ketiganya seperti berjalan sendiri-sendiri. Orang-orang begitu hebat dan gagah berbicara tentang norma di berbagai forum. Namun, bersamaan dengan itu masih kebingungan untuk menentukan "mana yang baik" dan "mana yang buruk". Akhirnya, banyak yang terjebak pada sistem yang busuk, terbelenggu hedonisme, materi dan terambisi kekuasaan.
Pengaruh kapitalisme, sebagai bagian dari kebudayaan global, begitu derasnya mempengaruhi kondisi bangsa ini. Di tengah kebingungan orang-orang menimbang yang baik dan yang buruk kapitalisme tampak makin mendesak. Banyak orang yang justru tidak mengambil sisi baik dari kapitalisme, tetapi sisi buruknya. Hal yang kemudian dipikirkan adalah bagaimana meraup materi sebanyak-banyaknya dan meraih kursi kekuasaan setinggi-tingginya.
Orang-orang tersebut membayangkan bahwa sukses tertinggi terletak pada materi dan kekuasaan. Hal itu harus diraih dengan cara apa pun, seperti tak peduli apakah merugikan orang lain atau tidak.
Lebih jauh tampak semangat nasionalisme meluntur, seperti, dikalahkan oleh kepentingan individu yang menggebu-gebu dan tak mengenal ampun. Apa pun celah yang bisa pasti akandijalaninya. Bahkan yang buruk pun ditempuh. Dalam kondisi ini, sepertinya sudah tak bermakna lagi sikap pengorbanan, dedikasi, dan nasionalisme. Yang ada dalam benak hanya materi dan kekuasaan yang harus dicapai. Inilah keberhasilan tertinggi yang dibayangkan oleh orang-orang yang terjebak belenggu materialisme.
Filter
Materi dan kekuasaan harus diraih dengan sikap-sikap positif, sehingga tak menjebak orang- orang yang melakoninya. Profesionalisme, strategi, kepandaian, kebijaksanaan, kejujuran, kegigihan, dan kecemerlangan adalah jalan yang harus dilalui untuk meraih keberhasilan.
Orang-orang yang meraih keberhasilan melalui jalan-jalan tersebut sudah pasti tidak akan tersangkut masalah hukum. Bahkan mereka dapat menjadi suri teladan bagi orang lain. Tapi, hal itu hanya akan tercapai manakala orang memakai kesadaran moral sebagai basis.
Kesadaran Moral
Orang yang memiliki kesadaran moral secara otomatis dapat memfungsikan dirinya sebagai "filter", yang membuatnya punya keyakinan penuh untuk mengatakan "tidak" jika memang tidak dan "ya" jika memang ya. Dengan perkataan lain, tatkala dihadapkan pada pilihan yang memang baik ia akan meng-"ya"-kan. Sebaliknya, tatkala dihadapkan pada pilihan yang buruk, ia harus berkata "tidak".
Orang yang tak memiliki kesadaran moral tentu akan sulit untuk mengatakan "ya" atau "tidak". Ia tak akan memiliki cukup keberanian untuk menentukan pilihannya. Ia juga tak punya keberanian dan keyakinan serta gampang dipengaruhi. Soal "baik-buruk" menjadi kabur.
Dalam kekaburan semacam itu tentunya orang tak mampu mengarahkan pada "yang baik". Begitu banyak terjadi kasus akibat faktor kebingungan itu. Jika kebingungan terjadi orang acapkali melupakan kapasitas dirinya. Apalagi jika orang itu sangat materialistis.
Untuk itu, kesadaran moral harus dijadikan basis bagi setiap orang, terutama bagi pemimpin bangsa. Kesadaran moral harus dapat dibangkitkan dalam diri masing-masing.
Tanpa kesadaran moral bangsa ini tak akan pernah maju. Kejujuran adalah salah satu nilai moral yang harus ditanamkan dan ditradisikan secara terus-menerus. Jika kita meyakini bahwa kejujuran adalah kemujuran maka kita bersama-sama perlu melakukannya.
Kita semua mempunyai hati, rasa, dan pikir yang dapat digunakan untuk selalu berikhtiar menuju sesuatu yang baik. Jika kesadaran telah ditanamkan dalam-dalam di dalam diri maka tak akan ada lagi orang yang tergelincir ke dalam pilihan yang buruk.
Oleh karena itu, kita harus mau mengasah hati agar tak terbelenggu materi dan kekuasaan. Jika kita konsisten memanfaatkan kesadaran moral sebagai basis maka bangsa ini pasti akan sangat kaya dengan orang-orang baik dan pemimpin-pemimpin yang dapat mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Untuk itu, setiap warga bangsa harus punya tekad mau berubah ke arah yang baik.
Hubungan antarbangsa pun akan makin harmonis manakala yang dikedepankan adalah yang baik. Membangun citra bangsa yang baik memang sulit. Hal-hal kecil acapkali kita abaikan dan yang besar belum dapat kita capai. Misalnya, kita belum memiliki kepedulian tentang ekosistem, sehingga ekosistem itu bermasalah.
Lihatlah penebangan liar dan pelepasan tanah hijau yang menghancurkan ekosistem. Ciri agraris kita pun tampak kurang diperhatikan. Tidak mungkin sebuah bangsa akan maju jika individu-individunya tidak menggunakan basis kesadaran moral.
Oleh karena itu, individu-individu inilah yang harus dikuatkan seoptimal mungkin dengan kesadaran moral guna menopang sistem, kebijakan, dan pola yang lebih baik.
Semoga dengan HUT ke-65 RI kita bisa mendapat seorang pemimpin yang mengerti kebutuhan masyarakatnya, berdiri di atas semua golongan tanpa melihat perbedaan agama dan suku. Itulah harapan kita bersama untuk mengisi makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Seorang pemimpin lahir dari proses politik dan moral yang baik agar masyarakat bisa hidup sejahtera dan aman. ***
Oleh : Drs. Anton AP. Sinaga, M.Si
Penulis adalah: Dosen Kopertis Wil I Sumut NAD dpk STIE Nusa Bangsa Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar